Cakraindonesia.co.id, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyadari bahwa ancaman terhadap pelapor dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) merupakan isu yang nyata dan serius. Pelapor sering kali menghadapi risiko berupa intimidasi, tekanan sosial, ancaman fisik, ancaman hukum, hingga ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarga. Oleh karena itu, perlindungan bagi pelapor menjadi sangat penting untuk memastikan keberanian masyarakat dalam mengungkap korupsi tidak berujung pada bahaya pribadi atau dampak negatif lainnya.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Hukum KPK, Ahmad Burhanudin, di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (14/8/2024).
Menurut Burhanudin, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK memiliki kewajiban untuk melindungi saksi atau pelapor yang memberikan informasi mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Perlindungan ini mencakup berbagai aspek, termasuk jaminan keamanan, kerahasiaan identitas, serta penyediaan rumah aman dan identitas baru.
“KPK akan memastikan bahwa setiap laporan yang signifikan dan disertai dengan ancaman terhadap pelapor akan mendapatkan perlindungan maksimal. Namun, kami juga mengingatkan bahwa perlindungan hanya dapat diberikan jika pelapor mematuhi ketentuan, termasuk menjaga kerahasiaan identitasnya,” jelas Burhanudin.
Burhanudin juga menyoroti bahwa pada 2023, Indeks Integritas Nasional Indonesia berada pada posisi yang memprihatinkan, yakni 70,97 poin, turun 0,97 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 71,94 poin. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap perlindungan bagi pelapor korupsi. Hasil Survei Penilaian Integritas 2023 yang melibatkan 554.321 responden dari kalangan internal, eksternal, dan pakar, menunjukkan bahwa hanya 5 persen responden yang percaya bahwa instansi terkait mampu memberikan perlindungan kepada pelapor korupsi.
Sementara itu, data KPK menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, KPK telah memberikan perlindungan kepada pelapor atau saksi tindak pidana korupsi, dengan rincian: 17 orang pada 2024, 22 orang pada 2023, 33 orang pada 2022, dan 31 orang pada 2021.
“Angka ini bukan akumulasi, karena ada kasus yang perlindungannya belum selesai dan dilanjutkan pada tahun berikutnya. Angka ini bisa bertambah atau berkurang sesuai dengan status kasus, apakah sudah inkracht atau belum. Jika ancaman masih ada, perlindungan dapat diajukan kembali,” kata Burhanudin.
KPK memiliki kriteria tertentu untuk pelapor yang bisa mendapatkan Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Pertama, pelapor merasa terancam; kedua, pelapor membantu membongkar kasus Tindak Pidana Korupsi; dan ketiga, pelapor melakukan pelaporan secara lengkap dan detil.
“Setelah pelapor meminta perlindungan, KPK akan melakukan verifikasi laporannya. Jika semua poin tersebut terpenuhi, KPK akan memberikan perlindungan maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tambah Burhanudin.
Lebih lanjut, Burhanudin menekankan perlunya penyempurnaan regulasi terkait perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi, terutama yang menyangkut kepegawaian dan pelayanan publik. Ini penting karena banyak pegawai, terutama Aparatur Sipil Negara (ASN), merasa tidak aman setelah melaporkan tindak pidana korupsi, yang berdampak pada promosi hingga mutasi. Selain itu, masyarakat yang melaporkan TPK sering kali merasa mendapatkan perlakuan berbeda dalam layanan publik.
“Ini krusial, terutama bagi pegawai ASN, karena belum ada klausul yang mengatur secara jelas. Oleh karena itu, regulasi harus diperkuat. Masyarakat umum juga memerlukan perlindungan hukum agar laporan mereka tidak mempengaruhi layanan yang diberikan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau BUMN/BUMD,” jelasnya.
Para pelapor yang berani mengungkap kasus korupsi juga akan mendapat penghargaan berupa piagam dan premi maksimal Rp200 juta atau 2 permil dari nilai aset yang berhasil dikembalikan dalam kasus TPK yang dilaporkan, sesuai dengan PP No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPK.
KPK berharap dengan adanya peraturan dan penguatan regulasi terkait perlindungan hukum, masyarakat dapat merasa aman saat melaporkan tindak pidana korupsi. “Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berani melaporkan tindak pidana korupsi dengan keyakinan bahwa KPK akan melindungi,” tutup Burhanudin.
Sebelumnya, KPK telah mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Akuntabilitas Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana Korupsi dan Pelayanan Publik” pada Kamis, 8 Agustus 2024 di Gedung Merah Putih KPK. FGD ini dihadiri oleh para ahli dari berbagai lembaga terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri, LPSK, Ombudsman Republik Indonesia, serta Kemenpan RB.
Terkait Laporan Pengaduan Masyarakat tentang korupsi melalui WBS Integrasi, KPK juga telah melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 60 instansi, terdiri dari 20 kementerian/lembaga, 28 BUMN, dan 14 pemerintah daerah.